Jumat, 27 Desember 2013

Sejarah Hak Asasi Manusia (HAM)


Sejarah HAM – Hak Asasi Manusia merupakan hak yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia yang bersifat kodrati. Maka dari itu tidak ada kekuasaan apapun yang dapat mencabutnya sejak manusia itu dilahirkan hingga sampai akhir hayat nanti. Hak asasi manusia bersifat universal, artinya berlaku dimana saja dan untuk siapa saja serta tanpa dapat diambil oleh siapapun. Sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, HAM wajib untuk dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM). Untuk itu, kita sebagai warga Negara yang baik sangat perlu menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, jabatan, keturunan dan lain sebagainya.
Pada dasarnya hak asasi manusia terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar tersebut, maka lahirlah hak-hak asasi lain, atau tanpa kedua hak dasar ini, hak asasi manusia lainnya sulit akan ditegakkan. Di indoensia, seseorang yang melanggar HAM berarti dia bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM.
Berikut ini adalah Sejarah perkembangan dan perumusan hak asasi manusia di Dunia. Perkembangan atas pengakuan hak asasi manusia ini berjalan secara perlahan dan beraneka ragam. Perkembangan tersebut antara lain dapat ditelusuri sebagai berikut.
Pesan Sponsor
1. HAK ASASI MANUSIA DI YUNANI
Filosof Yunani, seperti Socrates (470-399 SM) dan Plato (428-348 SM) meletakkan dasar bagi perlindungan dan jaminan diakuinya hak – hak asasi manusia. Konsepsinya menganjurkan masyarakat untuk melakukan sosial kontrol kepada penguasa yang zalim dan tidak mengakui nilai – nilai keadilan dan kebenaran. Aristoteles (348-322 SM) mengajarkan pemerintah harus mendasarkan kekuasaannya pada kemauan dan kehendak warga negaranya.

2. HAK ASASI MANUSIA DI INGGRIS
Inggris sering disebut–sebut sebagai negara pertama di dunia yang memperjuangkan hak asasi manusia. Tonggak pertama bagi kemenangan hak-hak asasi terjadi di Inggris. Perjuangan tersebut tampak dengan adanya berbagai dokumen kenegaraan yang berhasil disusun dan disahkan. Dokumen-dokumen tersebut adalah sebagai berikut :

2.1 Magna Charta
     Pada awal abad XII Raja Richard yang dikenal adil dan bijaksana telah diganti oleh Raja John Lackland yang bertindak sewenang–wenang terhadap rakyat dan para bangsawan. Tindakan sewenang-wenang Raja John tersebut mengakibatkan rasa tidak puas dari para bangsawan yang akhirnya berhasil mengajak Raja John untuk membuat suatu perjanjian yang disebut Magna Charta atau Piagam Agung.

      Magna Charta dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang prinsip dasarnya memuat pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja. Tak seorang pun dari warga negara merdeka dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya atau diasingkan atau dengan cara apapun dirampas hak-haknya, kecuali berdasarkan pertimbangan hukum. Piagam Magna Charta itu menandakan kemenangan telah diraih sebab hak-hak tertentu yang prinsip telah diakui dan dijamin oleh pemerintah. Piagam tersebut menjadi lambang munculnya perlindungan terhadap hak-hak asasi karena ia mengajarkan bahwa hukum dan undang-undang derajatnya lebih tinggi daripada kekuasaan raja.

Isi Magna Charta adalah sebagai berikut :
• ?Raja beserta keturunannya berjanji akan menghormati kemerdekaan, hak, dan kebebasan Gereja Inggris.
• Raja berjanji kepada penduduk kerajaan yang bebas untuk memberikan hak-hak sebagi berikut :
• Para petugas keamanan dan pemungut pajak akan menghormati hak-hak penduduk.
• Polisi ataupun jaksa tidak dapat menuntut seseorang tanpa bukti dan saksi yang sah.
• Seseorang yang bukan budak tidak akan ditahan, ditangkap, dinyatakan bersalah tanpa perlindungan negara dan tanpa alasan hukum sebagai dasar tindakannya.
• Apabila seseorang tanpa perlindungan hukum sudah terlanjur ditahan, raja berjanji akan mengoreksi kesalahannya.

2.2 Petition Of Rights
Pada dasarnya Petition of Rights berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai hak-hak rakyat beserta jaminannya. Petisi ini diajukan oleh para bangsawan kepada raja di depan parlemen pada tahun 1628. Isinya secara garis besar menuntut hak-hak sebagai berikut :
• Pajak dan pungutan istimewa harus disertai persetujuan.
• Warga negara tidak boleh dipaksakan menerima tentara di rumahnya.
• Tentara tidak boleh menggunakan hukum perang dalam keadaan damai.

2.3 Hobeas Corpus Act
Hobeas Corpus Act adalah undang- undang yang mengatur tentang penahanan seseorang dibuat pada tahun 1679. Isinya adalah sebagai berikut :
• Seseorang yang ditahan segera diperiksa dalam waktu 2 hari setelah penahanan.
• Alasan penahanan seseorang harus disertai bukti yang sah menurut hukum.

2.4 Bill Of Rights
Bill of Rights merupakan undang-undang yang dicetuskan tahun 1689 dan diterima parlemen Inggris, yang isinya mengatur tentang :
• Kebebasan dalam pemilihan anggota parlemen.
• Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat.
• Pajak, undang-undang dan pembentukan tentara tetap harus seizin parlemen.
• Hak warga Negara untuk memeluk agama menurut kepercayaan masing-masing .
• Parlemen berhak untuk mengubah keputusan raja.

3. HAK ASASI MANUSIA DI AMERIKA SERIKAT
  Pemikiran filsuf John Locke (1632-1704) yang merumuskan hak-hak alam,seperti hak atas hidup, kebebasan, dan milik (life, liberty, and property) mengilhami sekaligus menjadi pegangan bagi rakyat Amerika sewaktu memberontak melawan penguasa Inggris pada tahun 1776. Pemikiran John Locke mengenai hak – hak dasar ini terlihat jelas dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang dikenal dengan DECLARATION OF INDEPENDENCE OF THE UNITED STATES.
    Revolusi Amerika dengan Declaration of Independence-nya tanggal 4 Juli 1776, suatu deklarasi kemerdekaan yang diumumkan secara aklamasi oleh 13 negara bagian, merupakan pula piagam hak – hak asasi manusia karena mengandung pernyataan “Bahwa sesungguhnya semua bangsa diciptakan sama derajat oleh Maha Pencipta. Bahwa semua manusia dianugerahi oleh Penciptanya hak hidup, kemerdekaan, dan kebebasan untuk menikmati kebhagiaan.
     John Locke menggambarkan keadaan status naturalis, ketika manusia telah memiliki hak-hak dasar secara perorangan. Dalam keadaan bersama-sama, hidup lebih maju seperti yang disebut dengan status civilis, locke berpendapat bahwa manusia yang berkedudukan sebagai warga negara hak-hak dasarnya dilindungi oleh negara.
   Declaration of Independence di Amerika Serikat menempatkan Amerika sebagai negara yang memberi perlindungan dan jaminan hak-hak asasi manusia dalam konstitusinya, kendatipun secara resmi rakyat Perancis sudah lebih dulu memulainya sejak masa Rousseau. Kesemuanya atas jasa presiden Thomas Jefferson presiden Amerika Serikat lainnya yang terkenal sebagai “pendekar” hak asasi manusia adalah Abraham Lincoln, kemudian Woodrow Wilson dan Jimmy Carter.
Amanat Presiden Flanklin D. Roosevelt tentang “empat kebebasan” yang diucapkannya di depan Kongres Amerika Serikat tanggal 6 Januari 1941 yakni :
  • Kebebasan untuk berbicara dan melahirkan pikiran (freedom of speech and expression).
  • Kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya (freedom of religion).
  • Kebebasan dari rasa takut (freedom from fear).
  • Kebebasan dari kekurangan dan kelaparan (freedom from want).
Kebebasan- kebebasan tersebut dimaksudkan sebagai kebalikan dari kekejaman dan penindasan melawan fasisme di bawah totalitarisme Hitler (Jerman), Jepang, dan Italia. Kebebasan – kebebasan tersebut juga merupakan hak (kebebasan) bagi umat manusia untuk mencapai perdamaian dan kemerdekaan yang abadi. Empat kebebasan Roosevelt ini pada hakikatnya merupakan tiang penyangga hak-hak asasi manusia yang paling pokok dan mendasar.

4. HAK ASASI MANUSIA DI PRANCIS
Perjuangan hak asasi manusia di Prancis dirumuskan dalam suatu naskah pada awal Revolusi Prancis. Perjuangan itu dilakukan untuk melawan kesewenang-wenangan rezim lama. Naskah tersebut dikenal dengan DECLARATION DES DROITS DE L’HOMME ET DU CITOYEN yaitu pernyataan mengenai hak-hak manusia dan warga negara. Pernyataan yang dicetuskan pada tahun 1789 ini mencanangkan hak atas kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan atau kesetiakawanan (liberte, egalite, fraternite).
Lafayette merupakan pelopor penegakan hak asasi manusia masyarakat Prancis yang berada di Amerika ketika Revolusi Amerika meletus dan mengakibatkan tersusunnya Declaration des Droits de I’homme et du Citoyen. Kemudian di tahun 1791, semua hak-hak asasi manusia dicantumkan seluruhnya di dalam konstitusi Prancis yang kemudian ditambah dan diperluas lagi pada tahun 1793 dan 1848. Juga dalam konstitusi tahun 1793 dan 1795. revolusi ini diprakarsai pemikir – pemikir besar seperti : J.J. Rousseau, Voltaire, serta Montesquieu. Hak Asasi yang tersimpul dalam deklarasi itu antara lain :
  1. Manusia dilahirkan merdeka dan tetap merdeka.
  2. Manusia mempunyai hak yang sama.
  3. Manusia merdeka berbuat sesuatu tanpa merugikan pihak lain.
  4. Warga Negara mempunyai hak yang sama dan mempunyai kedudukan serta pekerjaan umum.
  5. Manusia tidak boleh dituduh dan ditangkap selain menurut undang-undang.
  6. Manusia mempunai kemerdekaan agama dan kepercayaan.
  7. Manusia merdeka mengeluarkan pikiran.
  8. Adanya kemerdekaan surat kabar.
  9. Adanya kemerdekaan bersatu dan berapat.
  10. Adanya kemerdekaan berserikat dan berkumpul.
  11. Adanya kemerdekaan bekerja,berdagang, dan melaksanakan kerajinan.
  12. Adanya kemerdekaan rumah tangga.
  13. Adanya kemerdekaan hak milik.
  14. Adanya kemedekaan lalu lintas.
  15. Adanya hak hidup dan mencari nafkah.
5. HAK ASASI MANUSIA OLEH PBB
Setelah perang dunia kedua, mulai tahun 1946, disusunlah rancangan piagam hak-hak asasi manusia oleh organisasi kerja sama untuk sosial ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari 18 anggota. PBB membentuk komisi hak asasi manusia (commission of human right). Sidangnya dimulai pada bulan januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt. Baru 2 tahun kemudian, tanggal 10 Desember 1948 Sidang Umum PBB yang diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris menerima baik hasil kerja panitia tersebut. Karya itu berupa UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS atau Pernyataan Sedunia tentang Hak – Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang terwakil dalam sidang umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain, dan 2 negara lainnya absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember  diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia.
Universal Declaration of Human Rights antara lain mencantumkan, Bahwa setiap orang mempunyai Hak :
  • Hidup
  • Kemerdekaan dan keamanan badan
  • Diakui kepribadiannya
  • Memperoleh pengakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum untuk mendapat jaminan hokum dalam perkara pidana, seperti diperiksa di muka umum, dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah
  • Masuk dan keluar wilayah suatu Negara
  • Mendapatkan asylum
  • Mendapatkan suatu kebangsaan
  • Mendapatkan hak milik atas benda
  • Bebas mengutarakan pikiran dan perasaan
  • Bebas memeluk agama
  • Mengeluarkan pendapat
  • Berapat dan berkumpul
  • Mendapat jaminan sosial
  • Mendapatkan pekerjaan
  • Berdagang
  • Mendapatkan pendidikan
  • Turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat
  • Menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan
Majelis umum memproklamirkan Pernyataan Sedunia tentang Hak Asasi Manusia itu sebagai tolak ukur umum hasil usaha sebagai rakyat dan bangsa dan menyerukan semua anggota dan semua bangsa agar memajukan dan menjamin pengakuan dan pematuhan hak-hak dan kebebasan- kebebasan yang termasuk dalam pernyataan tersebut. Meskipun bukan merupakan perjanjian, namun semua anggota PBB secara moral berkewajiban menerapkannya.

6. HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
Hak Asasi Manusia di Indonesia bersumber dan bermuara pada pancasila. Yang artinya Hak Asasi Manusia mendapat jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni Pancasila. Bermuara pada Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia tersebut harus memperhatikan garis-garis yang telah ditentukan dalam ketentuan falsafah Pancasila. Bagi bangsa Indonesia, melaksanakan hak asasi manusia bukan berarti melaksanakan dengan sebebas-bebasnya, melainkan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Hal ini disebabkan pada dasarnya memang tidak ada hak yang dapat dilaksanakan secara multak tanpa memperhatikan hak orang lain.
Setiap hak akan dibatasi oleh hak orang lain. Jika dalam melaksanakan hak, kita tidak memperhatikan hak orang lain,maka yang terjadi adalah benturan hak atau kepentingan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat dan tidak terpisah dari manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusisan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Berbagai instrumen hak asasi manusia yang dimiliki Negara Republik Indonesia, yakni:
  • Undang – Undang Dasar 1945
  • Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
  • Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  • Di Indonesia secara garis besar disimpulkan, hak-hak asasi manusia itu dapat dibeda-bedakan menjadi sebagai berikut :
  • Hak – hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, dan kebebasan bergerak.
  • Hak – hak asasi ekonomi (property rights) yang meliputi hak untuk memiliki sesuatu, hak untuk membeli dan menjual serta memanfaatkannya.
  • Hak – hak asasi politik (political rights) yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam pemilu) dan hak untuk mendirikan partai politik.
  • Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan ( rights of legal equality).
  • Hak – hak asasi sosial dan kebudayaan ( social and culture rights). Misalnya hak untuk memilih pendidikan dan hak untukmengembangkan kebudayaan.
  • Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (procedural rights). Misalnya peraturan dalam hal penahanan, penangkapan, penggeledahan, dan peradilan.
Secara konkret untuk pertama kali Hak Asasi Manusia dituangkan dalam Piagam Hak Asasi Manusia sebagai lampiran Ketetapan Permusyawarahan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998.
Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia ham di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh ham di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia.

A. KONSEP HAM
Di dalam mendefinisikan HAM, banyak sekali referensi dari para ahli yang dapat dijadikan rujukan untuk memahami apa itu HAM, berikut beberapa pengertian HAM menurut beberapa ahli yang berbeda:
  • HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan kodratnya (Kaelan: 2002).
  • Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
  • John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994). • Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia” 
Ciri-ciri pokok HAM Berdasarkan beberapa rumusan HAM di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa ciri pokok hakikat HAM yaitu:
  • HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
  • HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal-usul sosial dan bangsa.
  • HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah Negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM (Mansyur Fakih, 2003).
   Macam-macam HAM Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak-hak sebagai berikut; Hak untuk hidup, Kemerdekaan dan keamanan badan, Hak untuk diakui kepribadiannya menurut hukum, Hak untuk memperoleh perlakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum, Hak untuk mendapay jaminan hukum dalam perkara pidana seperti diperiksa di muka umum,dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah, Hak untuk masuk dan keluar wilayah satu Negara, Hak untuk bebas memeluk agama serta mempunyai dan mengeluarkan pendapat, Hak untuk mendapatkan pendidikan, Hak untuk bedagang, Hak untuk mendapatkan pekejaan dll. 

B. Perkembangan HAM dunia Perkembangan pemikiran HAM dunia dapat digeneralisasikan sebagai berikut: 

a) Zaman Pertengahan Lahirnya HAM di kawasan Eropa dimulai dengan  ditandatanganinya magna Charta(1215) yang antara lain memuat pemberian hak politik dan hak sipil yang mendasar kepada rakyat Inggris . Sekalipun pada awalnya hanya berlaku bagi golongan bangsawan, namun pada tahapan selanjutnya hak-hak itu menjadi bagian dari sistem konstitusional Inggris yang berlaku bagi semau warga Inggris. Sampai sekarang, Magna Charta oleh sebagian besar ilmuwan dianggap sebagai tonggak sejarah dalam perkembangan demokrasi di dunia. 

b) Abad ke-17 dan ke-18 Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya pemikran-pemikiran dari para filsuf zaman Enlignment yang menganutaliran liberalism (klasik) yang berpendapat bahwa pada masa lalu manusia hidup dalam keadaan alam (State of Nature). Dalam keadaan alam inisemua manusia sama martabatnya (equal), tunduk kepada hukum alam dan memiliki hak-hak alam. Akan tetapi, pada suatu saat hal itu akan diganti dengan kehidupan bernegara berdasarkan suatu kontrak sosial antara masyarakat dan penguasa. Hak asasi pada tahap itu masih terbatas pada bidang politik, contohnya adalah Bill of Rights 1689 di Inggris dan Declaration des Droits de I’Homme et du Citoyen, 1789 di Prancis. 

c) Abad ke-20 dan awal Abad ke-21 Pada zaman ini mulai terjadi perubahan pemikiran mengenai hak asasi manusia, hal ini disebabkan terjadinya the Great Depression (1929- 1934), pengangguran dan kemiskinan pun melanda, akibatnya muncul aliran-aliran radikal, seperti Nazisme di Jerman. Sekitar tahun 1941, Presiden USA, F.D Roosevelt merumuskan The four freedoms yang berisi kebebasan berbicara, kebebasan beragama, kebebasan dari ketakutan dan kebebasan dari kemiskinan. Pasca PD II, PBB melalui CHR, berhasil merumuskan Universal Declaration of Human Rights, yang diakui oleh 48 negara. Deklarasi ini dimaksudkan untuk menjadi standar minimum yang dicita-citakan oleh seluruh umat manusia . Sekalipun sifatnya tidak mengikat secar yuridis, namun deklarasi ini merupakan lambang komitmen moral dunia internasional yang banyak dirujuk oleh Negara di dunia di dalam perundang-undangannya. Kemudian CHR menyusun kovenan-kovenan internasional yang lebih bersifat mengikat. 

C. Perkembangan pemikiran HAM di Indonesia Dalam Undang-undang ini pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi PBB tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila, UUD 45 dan TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998. Hak-hak yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdiri dari: 
1. Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat. 

2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk membentuk kelaurga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah atas kehendak yang bebas. 

3. Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. 

4. Hak memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar. 

5. Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia. 

6. Hak atas rasa aman. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. 

7. Hak atas kesejahteraan. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan kehidupannya. 

8. Hak turut serta dalam pemerintahan. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantaraan wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan. 

9. Hak wanita. Seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Di samping itu berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya. 

10. Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum. Dalam Prakteknya, jenis-jenis HAM di atas, pada masa sekarang ini dituntut untukdikembangkan secara terpadu, yang sering dikenal dengan hak akan pembangunan (the right to development) Di dalam upaya perlindungan HAM di Indonesia telah dibentuk lembaga-lembaga resmi oleh pemerintah, seperti Komnas HAM, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap perempuan, Peradilan HAM dan lembaga-lembaga yang dibentuk oleh masyarakat, seperti LSM . 

D. Hukuman Mati 
    Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang  dijatuhkan pengadilan sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya. Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktek hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. 
   Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan masalah kesejahteraan atau kemiskinan suatu masyarakat dan dan berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum. Hingga Juni 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktek hukuman mati, termasuk Indonesia, dan lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktek hukuman mati. 
   Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara negara malakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati. Praktek hukuman mati di juga kerap dianggap bersifat bias, terutama bias kelas dan bias ras. Di AS, sekitar 80% terpidana mati adalah orang non kulit putih dan berasal dari kelas bawah. Sementara di berbagai negara banyak terpidana mati yang merupakan warga negara asing tetapi tidak diberikan penerjemah selama proses persidangan. 

   Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia kepada negara-negara anggota PBB untuk: 

(a) Secara bertahap membatasi jumlah tindak kejahatan yang diancam hukuman mati (progressively to restrict the number of offences for which the death penalty may be imposed); 

(b) Menetapkan adanya moratorium bagi eksekusi, dengan tetap mempertimbangkan penghapusan total hukuman mati (to establish a moratorium on executions, with a view to completely abolishing the death penalty); 

(c) Dimungkinkan tersedianya informasi publik berkaitan dengan penjatuhan hukuman mati (to make available to the public information with regard to the imposition of the death penalty); 

(d) Menyediakan informasi berkaitan dengan penggunaan hukuman mati dan ketaatan perlidungan yang menjamin perlindungan hak-hak mereka yang menghadapi ancaman hukuman mati sesuai dengan yang termuat dalam Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial 1984/50 (to provide to the Secretary-General and relevant United Nations bodies information relating to the use of capital punishment and the observance of the safeguards guaranteeing protection of the rights of those facing the death penalty as contained in Economic and Social Council resolution 1984/50). 

    Sebagian ahli dan beberapa pengadilan menyatakan bahwa hukuman mati melanggar hak hidup. Saat ini berkembang argumen yang dikuatkan pula oleh putusan beberapa pengadilan bahwa hukuman mati, melanggar hak hidup. Beberapa putusan juga menyatakan bahwa hukuman mati merupakan pelanggaran hak untuk tidak diperlakukan atau dihukum secara keji, tidak manusiawi dan merendahkan. Argumen bahwa hukuman mati melanggar hak hidup dan/atau hak untuk tidak dikenakan ‘inhuman and degrading treatment or punishment’ diperkuat oleh putusan mahkamah konstitusi beberapa negara. 

    Pada 24 Oktober 1990 Mahkamah Konstitusi Hongaria menyatakan bahwa hukuman mati melanggar ‘the inherent right to life and human dignity’ seperti diatur dalam Pasal 54 dari konstitusi negara tersebut.49 Pada 9 Juni 1995, Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan juga menyatakan bahwa hukuman mati tidak sesuai dengan larangan ‘perlakukan atau penghukuman yang keji, tidak manusiawi dan merendahkan/cruel, inhuman and degrading treatment or punishment’ di bawah konstitusi interim negara tersebut. Delapan dari sembilan hakim juga Mahkamah tersebut menyatakan bahwa hukuman mati melanggar hak hidup. Padal 9 Desember 1998, Mahkamah Konstitusi Republik Lithuania menyatakan bahwa kitab hukum pidana negara tersebut bertentangan dengan ketentuan konstitusi Republik Lithuania yang menyatakan bahwa hak hidup harus dilindungi oleh hukum. Dinyatakan bahwa hukuman mati bertentangan dengan larangan penyiksaan, injury, merendahkan/degradation dan maltreatment serta penetapan hukuman semacam itu.51 Pada 29 Desember 1999 Mahkamah Konstitusi Ukraina juga menyatakan bahwa hukuman mati yang diatur dalam hukum domestik negara tersebut adalah inskonstitusional dan peraturan perundang-undangan yang mengatur hukuman tersebut harus tidak berlaku lagi. 

    Mahkamah tersebut menyatakan bahwa hukuman mati tidak sejalan dengan pasal-pasal yang ada dalam Konstitusi Ukraina yang menyatakan bahwa hak hidup dan larangan untuk penyiksaan dan tindakan atau penghukuman yang keji, tidak manusiawi dan merendahkan melanggar martabat manusia. Dalam hal ini memang harus diperhatikan bahwa tidak seperti ICCPR, Konstitusi Ukraina tidak secara eksplisit memperbolehkan hukuman mati sebagai pengecualian hak hidup Undang-Undang Dasar 1945 adalah sumber hukum tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Konstitusi Indonesia mengatur ketentuan tentang hak hidup. 

    Pasal 28 A Konstitusi Indonesia melindungi hak hidup dan menyatakan bahwa “[s]etiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dengan demikian, hak hidup merupakan hak konstitusional. Konstitusi Indonesia menyatakan hak hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights). Pasal 28 ayat 1 menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga memuat ketentuan tentang hak hidup. Pasal 9 UU No. 39/1999 menyatakan bahwa ‘[s]etiap orang berhak untuk hidup, dan mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya’. Pasal Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan : ”Hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai  pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun oleh siapapun”. 

    Melalui Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007, Mahkamah Konstitusi Indonesia berpendirian bahwa hak hidup tidak bersifat mutlak dan bahwa pemberlakukan hukuman mati dalam UU Narkotika No. 27 Tahun 1997 sepanjang yang menyangkut ancaman pidana mati tidak melanggar UUD 1945.53 Pendirian Mahkamah Konstitusi didasarkan pada beberapa pendapat yaitu bahwa semua hak yang ada dalam konstitusi ’keberlakuannya dapat dibatasi’ termasuk hak hidup. Selain itu, Mahkamah Konsitusi berpendapat bahwa ditempatkannya pasal 28 J sebagai pasal penutup memberi tafsir bahwa Pasal 28 A-I yang mendahuluihya tunduk pada ketentuan pembatasan hak yang dimuat dalam Pasal 28 J Konstitusi Indonesia.54 Pendirian Mahkamah Konstitusi ini konsisten dengan pendirian Mahkamah Konstitusi sebelumnya dalam Perkara Abilio Soares. 55 Bahwa, menurut Mahkamah Konstitusi, hak hidup bersifat tidak mutlak juga mendasarkan pada argumen bahwa instrumen internasional memuat pula ketidakmutlakan hak hidup di antaranya Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang memuat ketentuan tentang pelaksanaan hukuman mati namun dengan pembatasanpembatasan tertentu. 

    Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemberlakukan hukuman mati terhadap kejahatan narkotika tidak menyalahi ketentuan pembatasan dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik mengenai pemberlakukan hukuman mati yang diperuntukkan hanya pada kejahatan yang paling serius (the most serious crimes). Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa frasa ‘kejahatan yang paling serius’ haruslah dibaca dengan frasa berikutnya ‘ sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat kejahatan dilakukan (in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime). 

E. Hukuman Mati dalam Perspektif HAM Dalam prinsip hak-hak asasi manusia yang diakui secara internasional, posisi hukuman mati dapat dijelaskan melalui beberapa uraian berikut ini: 

1. Hak untuk hidup adalah hak yang tak terenggutkan (non-derogable right) . dalam Rumusan ini menekankan bahwa hak hidup ada begitu manusia ada seiring dengan kodrat manusia. Rumusan ini menekankan dan mengakui sifat hak hidup sebagai karunia Tuhan yang bersifat kodrati. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kata melekat dan penekanan sifat kodrati hak hidup dalam ketentuan ini menekankan sifat hak hidup sebagai karunia Tuhan yang tak dapat dicabut oleh manusia. 

2. Hak untuk hidup adalah hak yang melekat di dalam diri (right in itself) setiap orang . 

3. Negara harus menghormati dan melindungi hak untuk hidup (the right to life). Hal mencerminkan inti dari kewajiban negara untuk menghormati hak hidup dengan tidak melakukan intervensi. Namun menurut ahli hukum dan pelapor khusus PBB untuk penyiksaan, Manfred Nowak, kewajiban ini bersifat tidak absolut. Dalam hal ini hanya ‘pencabutan/perampasan hidup secara sewenang-wenang’ yang dipandang melanggar pasal 6 Bahwa hukuman mati dapat dinyatakan sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik apabila diatur oleh hukum nasional.16 Namun demikian, menurut Nowak, kata keterangan ‘secara sewenang-wenang/arbitrarily’ juga harus dimaknai lebih jauh. Bahwa arbitrarily deprivation of life mengandung unsure ketidaksahan/unlawfulness dan tidak adil/injustice. 

    Hukum nasional yang memuat ketentuan hukuman mati dengan demikian harus pula memenuhi ketentuan tersebut dan tidak mengandung unsur-unsur ketidaksahan dan bersifat tidak adil. Dapat diambil satu benang merah bahwa hukuman mati ditolak dengan tegas oleh prinsip-prinsip HAM internasional. Selain itu, Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan hak hidup sebagai ‘supreme human rights”, yaitu bahwa tanpa pemenuhan hak  hidup, hak-hak asasi manusian lain tidak akan mempunyai arti apa-apa. Walaupun pada satu sisi konsepsi HAM ini adalah hasil dominasi pemikiran Negara-negara barat sebagai pemenang PD II .  

F. Praktek Hukuman Mati di Indonesia Di tengah kecenderungan global akan moratorium hukuman mati, di Indonesia justru praktek ini makin lazim diterapkan. Indonesia masih menganut adanya hukuman mati sebagaimana diatur di dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Hingga akhir 2006 terdapat setidaktidaknya 10 peraturan perundang-undangan di Indonesia yang masih mengandung ancaman hukuman mati. 

   Beberapa peraturan perundangundangan yang masih mengatur hukuman mati antara lain Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUPM), Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Dalam hal ini harus diingat bahwa Indonesia telah mengesahkan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik pada 2005 tanpa reservasi Dengan demikian, Indonesia telah menjadi negara pihak dan terikat secara hukum dengan ketentuan tersebut. Oleh karena Indonesia mengesahkan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik tanpa reservasi, maka seluruh ketentuan yang termuat di dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik mengikat Indonesia secara hukum. 

    Dalam hal ini kemudian Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa apakah ketentuan-ketentuan yang memuat kejahatan dengan ancaman pidana mati dalam UU No. 22 Tahun 2007 tentang Narkotika masuk dalam kejahatan yang paling serius haruslah dikaitkan dengan hukum yang berlaku terhadap kejahatankejahatan tersebut baik nasional maupun internasional. Mahkamah Konstitusi kemudian menyatakan bahwa di tingkat internasional hukum yang berlaku adalah UN Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Pschotropic Substances 1988 (Konvensi Narkotika dan Psikotropika) dimana Indonesia merupakan pihak dari Konvensi tersebut. Konvensi tersebut menyatakan bahwa kejahatan narkotika termasuk dalam kejahatan yang paling serius (particularly serious).
    
    Dengan mendasarkan pada ketentuan Konvensi itu, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa kejahatan narkotika yang dinyatakan sebagai kejahatan yang sangat serius (particularly serious) dalam Konvensi tersebut dapat ‘disetarakan’ dengan kejahatan yang paling serius (the most serious crimes) menurut ketentuan Pasal 6 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Selanjutnya Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa tidak ada kewajiban internasional yang dilanggar oleh Indonesia dengan memberlakukan hukuman mati dalam UU Narkotika. Dengan demikian, berbeda dengan Putusan Mahkamah Konstitusi beberapa Negara lain, menurut Mahkamah Konstitusi Indonesia, hak hidup bersifat tidak mutlak dan dapat dibatasi. Hukuman mati tidak melanggar UUD 1945. 

     Ketentuan hukuman mati dalam UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dengan demikian, menurut Mahkamah Konstitusi juga tidak melanggar ketentuan mengenai hak hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights) dalam Konstitusi Indonesia. Dalam hal ini adalah penting pula untuk mengingat bahwa tafsir Mahkamah Konstitusi atas kejahatan yang paling serius dalam Putusan tersebut berbeda dengan tafsir menurut Kovenan dan Komite yang tidak memasukkan kejahatan obat-obatan sebagai kejahatan yang paling serius (the most serious crimes).

1 komentar: